Senin, 27 April 2015

Yang Kau Sebut Cinta



            Aku kembali bergetar menyebut namanya. Nama yang kini tak lagi terikat jalinan cinta antaranya. Memaksa aku untuk sejenak bernostalgia didepan temanku.
***
Yang Kau Sebut Cinta
       Perlahan, tatapan yang sering kurasakan akhir-akhir ini serasa memandang k arahku lagi. Tatapan dari seorang cowok yang entah siapa namanya. Tatapan yang sama, membuatku yakin tatapan itu tal salah tertuju padaku. Detak jantungku tak bisa dibilang biasa saja, tapi juga tak bisa dibilang bergetar hebat saat pandangannya tertangkap tepat diatas retinaku. Aku hanya belum tahu siapa dia dan apa maksudnya. Yang aku tahu dia adalah orang yang sama-sama mengikuti ekstrakurikuler marching band sekolah.
       “Zah, udah kan? Pulang yuk!”, salah satu temanku yang secara tidak sengaja mengajakku bangkit dari lamunanku dan menarik paksa diriku yang tengah duduk menikmati tegukan air mineral yang mengalir segar yang mengiringi fantasi dunia bawah sadarku. Aku yang terkejut dan tanpa berpikir panjang langsung berdiri dan membawa botol air mineral yang tinggal setengah.
Langkah kaki kami menuju ke arah kelas, mengambil tas dan sesegera mungkin pulang. Aku berjalan biasa saja tanpa beban. Tertawa sewajarnya saat melihat hal yang kuanggap lucu. Sampai aku sadar, langkah kakiku menuju ke arah cowok yang tadi memandangku. Untungnya saat ini ia tidak melihat ke arahku. Aku bernafas lega. Setidaknya, ketenanganku tak perlu terusik lagi karenanya. Langkahku ke arahnya semakin dekat dan tak ada tanda-tanda ia akan berbalik ke arahku. Ya, setidaknya seperti itu, sampai........
“Sahrul....” temanku memanggilnya.
Cowok yang merasa memiliki nama itupun menoleh ke arah sumber suara. Aku sedikit kaget, tapi untung saja aku berhasil mengendalikan konsentrasiku. Meskipun, tidak 100%. Namun, untuknya berbeda. Mukanya terlihat merah padam dan senyum dibibirnya terkesan dibuat. Kaku. Canggung. Lucu. Dan seketika ia berdiri dari tempatnya dan berjalan lurus tanpa memandang ke arah jalannya. Hasilnya? Ia bersenggolan dengan salah satu cewek yang juga anggota marching band. Cewek yang sempat memarahinya dan cowok yang sibuk meminta maaf menjadi pemandanganku sore ini.
Pemandangan yang aneh di sore yang aneh. Aku hanya tertawa kecil. Ini bukan lelucon, tapi kuakui ini lucu. Buat apa coba, tiba-tiba berdiri saat namanya dipanggil. Padahal, hanya dengan sedikit senyuman saja kan sudah cukup. Lagian, temanku yang satu ini emang hobi banget manggilin orang. Seharusnya dia udah biasa dong? Terus, kenapa jadi salting gitu? Permainan logikaku membuatku kembali tertawa kecil.
“Zahm aneh ya si Sahrul. Padahal, sering aku panggil dan dianya biasa aja. Kok baru kali ini salting yah?”
“Aku ya engga tau lah.. Aku juga ga kenal”
“Mungkin gara-gara kamu tuh...”
“Ga usah ngawur deh! Udah ah, lagi males bahas cowok.”
“Eh, tapi iya lo, Zah...”
Aku terpaksa berjalan lebih dulu daripadanya, selain aku males membahas cowok, aku juga tak ingin  tahu bahwa selama ini ada yang aneh dengan dia. Keanehan yang terkadang membuatku terasa aneh juga.
***
“Zahro, dicari Sahrul tuh...”
“Sahrul.. itu ada Zahro, katanya nyariin..”
“Ciyee Zahro.....”
Kata-kata seperti itu mulai sering kudengar akhir-akhir ini. Entah apa maksudnya. Aku masih biasa saja sampai detik ini, namun aku begitupun penasaran apa maksudnya.
Aku memasuki kelas yanng sama. Atmosfer yang sama ini kutemui lagi. Aku berjalan menuju ke mejaku sambil tersenyum riang tanpa beban dan menyapa teman-teman yang kulalui.
“Zah, si Sahrul seneng kamu katanya..” kata salah satu teman cowok di kelasku yang langsung diiringi kata “ciyee” dari yang lain.
“Apa sih?? Bodo ah..” kataku cuek, namun jujur aku ingin tahu yang sebenarnya.
Rasa keingintahuanku ku  tuntaskan dengan bertanya pada cowok tadi tentang Sahrul. Apa maksud pandangannya, ledekan teman-temannya dan kata-kata tadi pagi, “dia menyukaiku”. Aku tak boleh menyimpulkan keadaan sendiri dan aku harap setelah ini aku bisa benar-benar tahu.
Kuamati kata –kata yang keluar secara seksama dan akhirnya kini aku mengerti maksud semuanya. Benar apa katanya pagi tadi. Aku bahagia,  setidaknya ada orang yang seperti ini denganku. Aku juga tidak membatasi jarakku saat ia mulai menghubungiku via SMS. Aku anggap ini sebagai media untuk menambah teman. Setidaknya, antara aku dan dia bisa berteman.
Hubungan pertemanan kami berlanjut, masih via SMS sebagai medianya. Ada rasa nyaman saat aku dan dia saling berkirim pesan. Obrolan penting dan tak penting hampir tak bisa dipisahkan. Basa basi yang mulai busukpun sampai saat ini masih terasa nyaman. Sampai akhirnya, pada tanggal 23 Maret 2013 dia menyatakan rasa terhadapku. Lalu, bagaimana denganku? Akupun tak bisa menolak karena memang aku merasakan sesuatu yang berbeda saat aku dengannya.
Hari-hari setelahnya kulewati dengan bahagia. Seperti ada semacam power dari diriku. Apakah ini yang dinamakan the power of love? Jantungku yang berdegup kencang. Warna-warna yang bertaburan dan janji yang pernah mengikat selalu kurasakan ketika aku bertemu dengannya. Bahkan, ketika aku teringatpun hal itu terjadi lagi.
Tak banyak yang tahu tentang hubunganku. Aku juga tak ingin mempublikasikannya. Cukuplah begini saja, secara sederhana. Mungkin itu lebih baik menurutku.
***
3 bulan terlalui bersamanya, tapi tak ada hal yang kuanggap istimewa darinya. Seakan-akan ini hanyalah sebuah status. Status yang terjalin begitu saja. Diapun terlihat begitu saja kepadaku, tidak seperti dulu saat aku pertama kali mengenalnya. Aku menghela napas panjang dan beranggapan bahwa mungkin itulah sifat dasar cowok. Sat pertama begitu manis, mengejar dan berusaha mendapatkan. Namun, setelah didapatkannya, tinggal aku sendiri yang melewati rasa yang pernah kuberikan.
Terlalu lama seperti ini kupikir tak akan baik. Untuk apa mempertahankan orang yang tidak jelas. Lebih baik menyimpan hati untuk orang yang peduli. Maka, pada tanggal 12 Juni 2013 ini kuputuskan aku akan mengakhiri hubungan ini. Meskipun masih tersisa rasa untukmu, aku hanya tak ingin cintaku terbuang percuma.
***
Setelah kuputuskan dia di Juni lalu, kehidupanku berjalan seperti biasanya. Tak ada yang berubah dan tak ada tangis penyesalan. Aku baik-baik saja. Putus hubungan bukan berarti putus pertemanan. Aku berteman dengannya seperti biasa. SMS seperti biasa dengan tanpa rasa, mungkin itulah yang membedakan.
Frekuensi SMS dengannya terbilang sama seperti dulu, saat kita berstatus. Tak pernah kubangun sekat. Sampai akhirnya, kenyamanan itu kudapatkan kembali dan mulai menyemai benih rasa yang hampir mati. Diapun merasakan yang sama, dan ternyata rasanya memang belum pernah benar-benar hilang. Hingga akhirnya, tanggal 19 Juni 2013 kita memiliki status lagi.
Satu minggu setelahnya, aku merasa benar-benar berstatus. Aku tak merasa teracuhkan dan aku tak merasa mencintainya sendiri. Dia mengajakku ke sebuah pantai yang cukup indah di Kotaku. Aku yang tak ingin sendiri pada akhirnya mengajak kedua temanku bersama dengan pasangan mereka. Jadilah, kami berenam kesana. Triple date. Tak banyak yang kami lakukan. Rasa canggung masih tetap meliputiku. Ini kali pertamanya aku benar-benar merasa dekat dengannya.
***
Aku menangis sesenggukan dikamar unguku ini. Entah karena kebodohanku atau karena takdir dariNya. Hubungan backstreetku dengannya diketahui oleh orang tuaku. Aku yang memang tidak diizinkan untuk memiliki hubungan dengan lawan jenispun hanya bisa diam merutuki takdir.
Tak ada pilihan lain yang diberikan orang tuaku selain memintaku untuk memutuskan hubungan ini. Sebenarnya aku bisa saja kembali backstreet, namun aku tak ingin dikatakan sebagia anak durhaka. Apalgi, 9 bulan ini aku selalu diam menyembunyikannya, dan menurutku ini bukan waktu yang sebentar.
Aku mengambil nokia X2ku yang selama ini selalu setia menjadi media komunikasi antara aku dan dirinya. Hari ini media itu juga yang akan menyampaikan kabar buruk mengenai hubungan ini.
“Maaf, ini bukan kemauanku. Jika nanti pada akhirnya kita memang untuk bersama, kita akan kembali berdua.” Kataku disela-sela tangisku.
Aku mulai mengetikkan pesan singkat untuknya. Ini lebih baik daripada aku harus menelponnya dan berbicara langsung.

Maaf, aku harus mengakhiri semuanya.
Percayalah !!!
Jika kita ditakdirkan bersama, kita akan kembali :’)

Aku mengirimnya dan memandangi layar hp untuk menunggu notifikasi pesan terkirim. Setelah notifikasi itu muncul, aku menonaktifkan hpku. 25 Desember 2013, hal itu terjadi kembali....
***
Aku tak bisa biasa saja. Aku memikirkannya. Sulit sekali menjalani hari dengan dia yang selalu terparkir manis dihatiku. Aku masih sayang dia, kuakui itu. Tapi, aku bisa apa? Aku wanita. Seberani dan senekadnya wanita, tetap saja rasa gengsiku lebih tinggi.
Ya, benar kataku waktu itu, “Jika kita ditakdirkan bersana, kita akan kembali”. Mengapa begitu sulit menerima keputusan yang kubuat sendiri? Kukira ini sudah hampir 3 bulan semenjak waktu itu. Mengapa sesulit ini?
Aku mengambil hpku yang bergetar sebentar.
“SMS”, kupikir. Aku membukanya dan aku terkejut. Bagaimana tidak? Yang mengirim pesan adalah dia dan dia mengajakku jalan. Hmm,, aku menimbang-nimbang itu dan akhirnya kuputuskan untuk menjawab iya. Putus hubungan bukan berarti terbatasi kan?
Weekend ini aku jalan denganmu sesuai dengan janjiku. Disana, rasa canggung tetap jelas terlihat antara kita. Sejak 3 bulan tak ada kontak, akhirnya kita bertemu lagi. Dia mengatakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Begitupun denganku, akupun menjelaskan semuanya. Rasanya lega setelah mengeluarkan itu semua dan pada akhirnya, 23 Maret 2014 kami resmi menjalin hubungan kembali.
***
Aku peraya tak ada hubungan yang berjalan mulus. Akhir-akhir ini banyak temanku yang bilang dia dekat dengan si A, si B, dan lainnya. Aku tak percaya sebelum aku melihatnya dan dapat membuktikannya sendiri. Aku tanyakan kepadanya, dan dia menjawab tak ada apapun. Oke lah, aku percaya itu.
Lama-kelamaan, gosip itu semakin mudah kutemui. Aku hanya diam sambil berpura-pura tidak mengerti soal itu semua. Hari ini, aku memutuskan untuk pulang kerumah. Mungkin, itu bisa menenangkanku.
Perkiraanku melesat jauh. Dirumah, ternyata kakak laki-lakiku mengetahui itu semua. Aku diminta untuk putus, tapi aku tak mau. Semakin diminta dan dipaksa, semakin kuat pendirianku untuk tidak memutuskannya. Aku tidak mau untuk putus lagi, walaupun di sekolah kabar tentang selingkuhnya dia seperti menjadi gosip terhangat yang selalu dibincangkan. Prinsipku yang mnenetang kakakku berakibat pada kartu SIM hpku. Kartu ini dipatahkan dihadapanku. Aku tak tahu mengapa setega itu, padahal ia tak perah melakukan hal yang sekaar itu padaku.
Senin, 9 Juni 2014.
Aku melaksanakan evaluasi akhir semester II dengan perasaan yang kucoba untuk bersikap biasa saja. Akhirnya, aku bisa menjalani hari itu dengan baik-baik saja. Tapi, sayangnya hari esok masih memungkinkan untuk menjadi hari yang buruk.
Selasa, 10 Juni 2014.
Kumulai selasa pagi ini dengan tersenyum dan berharap akan indah seterusnya. Aku, Afi dan Dena berjalan didepan Sahrul. Afi yang iseng dan sengaja menguji ekspresi Dena langsung sengaja meledekku.
“Ciye Zahro... Sahrul tuh...” Aku tersenyum, begitupun Sahrul. Tapi, berbeda dengan Dena, dia langsung merubah muka cerianya 180o dan mengatakan,
“Ohh,, jadi kamu sama dia? Seleramu rendahan banget sih...” dan iapun berlalu.
Aku terkejut saat itu juga. Apa maksudnya?
Penasaran? Jelas!!! Sakit hati??? Ahh,, mungkin! Aku harus tahu dan mnyelesaikannya.
Sepulang sekolah Dena dan aku bertemu. Aku begitu kaget ketika mendengar penjelasannyya. Ternyata, selama ini Sahrul benar-benar selingkuh. Dan Dena merupakan salah satu selingkuhannya. Awalna aku tak percaya, tapi setelah dia meyakinkan dan mengatakan,
“Percaya sama aku, Zah... Kalo kamu ga percaya, tanya aja sama Sahrul. Kalo dia ga mau, paksa dia!”
Ok, aku percaya. Aku menguatkan diriku untuk tidak menangis. Kuucapkan terima kasih dan kami saling berlalu menuju rumah masing-masing.
Rabu, 11 Juni 2014.
Setelah kupikirkan matang-matang, aku tak bisa dengannya lagi. Ternyata, kakakku benar. Aku harus memutuskannya. Aku tak bisa berjuang sendiri untuk menjalin kisah yang dilibatkan oleh dua orang yang berbeda ini. Sehabis mengerjakan seluruh tes akhir ini, aku menemuinya dan mengutarakan maksudku.
Kesetiaanku terbalas dengan perselingkuhan. Inikah yang kamu sebut cinta? Tak ada celah untukmu berbicara. Aku hanya ingin putus. Sudah, itu saja. Hari ini, aku benar-benar memutuskannya.
***

Akhirnya, aku bisa selesai menceritakannya. Semua tentang aku dan dia. Ya,, semoga ini menjadi kenangan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar