Aku kembali bergetar menyebut
namanya. Nama yang kini tak lagi terikat jalinan cinta antaranya. Memaksa aku
untuk sejenak bernostalgia didepan temanku.
***
Yang
Kau Sebut Cinta
Perlahan, tatapan yang sering
kurasakan akhir-akhir ini serasa memandang k arahku lagi. Tatapan dari seorang cowok
yang entah siapa namanya. Tatapan yang sama, membuatku yakin tatapan itu tal
salah tertuju padaku. Detak jantungku tak bisa dibilang biasa saja, tapi juga
tak bisa dibilang bergetar hebat saat pandangannya tertangkap tepat diatas
retinaku. Aku hanya belum tahu siapa dia dan apa maksudnya. Yang aku tahu dia
adalah orang yang sama-sama mengikuti ekstrakurikuler marching band sekolah.
“Zah, udah kan? Pulang yuk!”, salah
satu temanku yang secara tidak sengaja mengajakku bangkit dari lamunanku dan
menarik paksa diriku yang tengah duduk menikmati tegukan air mineral yang
mengalir segar yang mengiringi fantasi dunia bawah sadarku. Aku yang terkejut dan
tanpa berpikir panjang langsung berdiri dan membawa botol air mineral yang
tinggal setengah.
Langkah
kaki kami menuju ke arah kelas, mengambil tas dan sesegera mungkin pulang. Aku
berjalan biasa saja tanpa beban. Tertawa sewajarnya saat melihat hal yang kuanggap
lucu. Sampai aku sadar, langkah kakiku menuju ke arah cowok yang tadi
memandangku. Untungnya saat ini ia tidak melihat ke arahku. Aku bernafas lega.
Setidaknya, ketenanganku tak perlu terusik lagi karenanya. Langkahku ke arahnya
semakin dekat dan tak ada tanda-tanda ia akan berbalik ke arahku. Ya,
setidaknya seperti itu, sampai........
“Sahrul....”
temanku memanggilnya.
Cowok
yang merasa memiliki nama itupun menoleh ke arah sumber suara. Aku sedikit
kaget, tapi untung saja aku berhasil mengendalikan konsentrasiku. Meskipun,
tidak 100%. Namun, untuknya berbeda. Mukanya terlihat merah padam dan senyum
dibibirnya terkesan dibuat. Kaku. Canggung. Lucu. Dan seketika ia berdiri dari
tempatnya dan berjalan lurus tanpa memandang ke arah jalannya. Hasilnya? Ia
bersenggolan dengan salah satu cewek yang juga anggota marching band. Cewek
yang sempat memarahinya dan cowok yang sibuk meminta maaf menjadi pemandanganku
sore ini.
Pemandangan
yang aneh di sore yang aneh. Aku hanya tertawa kecil. Ini bukan lelucon, tapi
kuakui ini lucu. Buat apa coba, tiba-tiba berdiri saat namanya dipanggil.
Padahal, hanya dengan sedikit senyuman saja kan sudah cukup. Lagian, temanku
yang satu ini emang hobi banget manggilin orang. Seharusnya dia udah biasa
dong? Terus, kenapa jadi salting gitu? Permainan logikaku membuatku kembali
tertawa kecil.
“Zahm
aneh ya si Sahrul. Padahal, sering aku panggil dan dianya biasa aja. Kok baru
kali ini salting yah?”
“Aku
ya engga tau lah.. Aku juga ga kenal”
“Mungkin
gara-gara kamu tuh...”
“Ga
usah ngawur deh! Udah ah, lagi males bahas cowok.”
“Eh,
tapi iya lo, Zah...”
Aku
terpaksa berjalan lebih dulu daripadanya, selain aku males membahas cowok, aku
juga tak ingin tahu bahwa selama ini ada yang aneh dengan dia. Keanehan
yang terkadang membuatku terasa aneh juga.
***
“Zahro,
dicari Sahrul tuh...”
“Sahrul..
itu ada Zahro, katanya nyariin..”
“Ciyee
Zahro.....”
Kata-kata
seperti itu mulai sering kudengar akhir-akhir ini. Entah apa maksudnya. Aku
masih biasa saja sampai detik ini, namun aku begitupun penasaran apa maksudnya.
Aku
memasuki kelas yanng sama. Atmosfer yang sama ini kutemui lagi. Aku berjalan
menuju ke mejaku sambil tersenyum riang tanpa beban dan menyapa teman-teman
yang kulalui.
“Zah,
si Sahrul seneng kamu katanya..” kata salah satu teman cowok di kelasku yang
langsung diiringi kata “ciyee” dari yang lain.
“Apa
sih?? Bodo ah..” kataku cuek, namun jujur aku ingin tahu yang sebenarnya.
Rasa
keingintahuanku ku tuntaskan dengan
bertanya pada cowok tadi tentang Sahrul. Apa maksud pandangannya, ledekan
teman-temannya dan kata-kata tadi pagi, “dia menyukaiku”. Aku tak boleh
menyimpulkan keadaan sendiri dan aku harap setelah ini aku bisa benar-benar
tahu.
Kuamati
kata –kata yang keluar secara seksama dan akhirnya kini aku mengerti maksud
semuanya. Benar apa katanya pagi tadi. Aku bahagia, setidaknya ada orang yang seperti ini
denganku. Aku juga tidak membatasi jarakku saat ia mulai menghubungiku via SMS.
Aku anggap ini sebagai media untuk menambah teman. Setidaknya, antara aku dan
dia bisa berteman.
Hubungan
pertemanan kami berlanjut, masih via SMS sebagai medianya. Ada rasa nyaman saat
aku dan dia saling berkirim pesan. Obrolan penting dan tak penting hampir tak
bisa dipisahkan. Basa basi yang mulai busukpun sampai saat ini masih terasa
nyaman. Sampai akhirnya, pada tanggal 23 Maret 2013 dia menyatakan rasa
terhadapku. Lalu, bagaimana denganku? Akupun tak bisa menolak karena memang aku
merasakan sesuatu yang berbeda saat aku dengannya.
Hari-hari
setelahnya kulewati dengan bahagia. Seperti ada semacam power dari diriku.
Apakah ini yang dinamakan the power of love? Jantungku yang berdegup kencang.
Warna-warna yang bertaburan dan janji yang pernah mengikat selalu kurasakan
ketika aku bertemu dengannya. Bahkan, ketika aku teringatpun hal itu terjadi lagi.
Tak
banyak yang tahu tentang hubunganku. Aku juga tak ingin mempublikasikannya.
Cukuplah begini saja, secara sederhana. Mungkin itu lebih baik menurutku.
***
3
bulan terlalui bersamanya, tapi tak ada hal yang kuanggap istimewa darinya.
Seakan-akan ini hanyalah sebuah status. Status yang terjalin begitu saja.
Diapun terlihat begitu saja kepadaku, tidak seperti dulu saat aku pertama kali
mengenalnya. Aku menghela napas panjang dan beranggapan bahwa mungkin itulah
sifat dasar cowok. Sat pertama begitu manis, mengejar dan berusaha mendapatkan.
Namun, setelah didapatkannya, tinggal aku sendiri yang melewati rasa yang
pernah kuberikan.
Terlalu
lama seperti ini kupikir tak akan baik. Untuk apa mempertahankan orang yang
tidak jelas. Lebih baik menyimpan hati untuk orang yang peduli. Maka, pada
tanggal 12 Juni 2013 ini kuputuskan aku akan mengakhiri hubungan ini. Meskipun
masih tersisa rasa untukmu, aku hanya tak ingin cintaku terbuang percuma.
***
Setelah
kuputuskan dia di Juni lalu, kehidupanku berjalan seperti biasanya. Tak ada
yang berubah dan tak ada tangis penyesalan. Aku baik-baik saja. Putus hubungan
bukan berarti putus pertemanan. Aku berteman dengannya seperti biasa. SMS
seperti biasa dengan tanpa rasa, mungkin itulah yang membedakan.
Frekuensi
SMS dengannya terbilang sama seperti dulu, saat kita berstatus. Tak pernah
kubangun sekat. Sampai akhirnya, kenyamanan itu kudapatkan kembali dan mulai
menyemai benih rasa yang hampir mati. Diapun merasakan yang sama, dan ternyata
rasanya memang belum pernah benar-benar hilang. Hingga akhirnya, tanggal 19
Juni 2013 kita memiliki status lagi.
Satu
minggu setelahnya, aku merasa benar-benar berstatus. Aku tak merasa teracuhkan
dan aku tak merasa mencintainya sendiri. Dia mengajakku ke sebuah pantai yang
cukup indah di Kotaku. Aku yang tak ingin sendiri pada akhirnya mengajak kedua
temanku bersama dengan pasangan mereka. Jadilah, kami berenam kesana. Triple date. Tak banyak yang kami
lakukan. Rasa canggung masih tetap meliputiku. Ini kali pertamanya aku
benar-benar merasa dekat dengannya.
***
Aku
menangis sesenggukan dikamar unguku ini. Entah karena kebodohanku atau karena
takdir dariNya. Hubungan backstreetku dengannya diketahui oleh orang tuaku. Aku
yang memang tidak diizinkan untuk memiliki hubungan dengan lawan jenispun hanya
bisa diam merutuki takdir.
Tak
ada pilihan lain yang diberikan orang tuaku selain memintaku untuk memutuskan
hubungan ini. Sebenarnya aku bisa saja kembali backstreet, namun aku tak ingin
dikatakan sebagia anak durhaka. Apalgi, 9 bulan ini aku selalu diam
menyembunyikannya, dan menurutku ini bukan waktu yang sebentar.
Aku
mengambil nokia X2ku yang selama ini selalu setia menjadi media komunikasi
antara aku dan dirinya. Hari ini media itu juga yang akan menyampaikan kabar
buruk mengenai hubungan ini.
“Maaf,
ini bukan kemauanku. Jika nanti pada akhirnya kita memang untuk bersama, kita
akan kembali berdua.” Kataku disela-sela tangisku.
Aku
mulai mengetikkan pesan singkat untuknya. Ini lebih baik daripada aku harus
menelponnya dan berbicara langsung.
Maaf, aku harus mengakhiri semuanya.
Percayalah !!!
Jika kita ditakdirkan bersama, kita
akan kembali :’)
Aku
mengirimnya dan memandangi layar hp untuk menunggu notifikasi pesan terkirim.
Setelah notifikasi itu muncul, aku menonaktifkan hpku. 25 Desember 2013, hal
itu terjadi kembali....
***
Aku
tak bisa biasa saja. Aku memikirkannya. Sulit sekali menjalani hari dengan dia
yang selalu terparkir manis dihatiku. Aku masih sayang dia, kuakui itu. Tapi,
aku bisa apa? Aku wanita. Seberani dan senekadnya wanita, tetap saja rasa
gengsiku lebih tinggi.
Ya,
benar kataku waktu itu, “Jika kita ditakdirkan bersana, kita akan kembali”.
Mengapa begitu sulit menerima keputusan yang kubuat sendiri? Kukira ini sudah
hampir 3 bulan semenjak waktu itu. Mengapa sesulit ini?
Aku
mengambil hpku yang bergetar sebentar.
“SMS”,
kupikir. Aku membukanya dan aku terkejut. Bagaimana tidak? Yang mengirim pesan
adalah dia dan dia mengajakku jalan. Hmm,, aku menimbang-nimbang itu dan
akhirnya kuputuskan untuk menjawab iya. Putus hubungan bukan berarti terbatasi
kan?
Weekend
ini aku jalan denganmu sesuai dengan janjiku. Disana, rasa canggung tetap jelas
terlihat antara kita. Sejak 3 bulan tak ada kontak, akhirnya kita bertemu lagi.
Dia mengatakan hal yang sama seperti yang aku rasakan. Begitupun denganku,
akupun menjelaskan semuanya. Rasanya lega setelah mengeluarkan itu semua dan
pada akhirnya, 23 Maret 2014 kami resmi menjalin hubungan kembali.
***
Aku
peraya tak ada hubungan yang berjalan mulus. Akhir-akhir ini banyak temanku
yang bilang dia dekat dengan si A, si B, dan lainnya. Aku tak percaya sebelum
aku melihatnya dan dapat membuktikannya sendiri. Aku tanyakan kepadanya, dan
dia menjawab tak ada apapun. Oke lah, aku percaya itu.
Lama-kelamaan,
gosip itu semakin mudah kutemui. Aku hanya diam sambil berpura-pura tidak
mengerti soal itu semua. Hari ini, aku memutuskan untuk pulang kerumah.
Mungkin, itu bisa menenangkanku.
Perkiraanku
melesat jauh. Dirumah, ternyata kakak laki-lakiku mengetahui itu semua. Aku
diminta untuk putus, tapi aku tak mau. Semakin diminta dan dipaksa, semakin
kuat pendirianku untuk tidak memutuskannya. Aku tidak mau untuk putus lagi,
walaupun di sekolah kabar tentang selingkuhnya dia seperti menjadi gosip
terhangat yang selalu dibincangkan. Prinsipku yang mnenetang kakakku berakibat
pada kartu SIM hpku. Kartu ini dipatahkan dihadapanku. Aku tak tahu mengapa
setega itu, padahal ia tak perah melakukan hal yang sekaar itu padaku.
Senin,
9 Juni 2014.
Aku melaksanakan evaluasi akhir semester II
dengan perasaan yang kucoba untuk bersikap biasa saja. Akhirnya, aku bisa
menjalani hari itu dengan baik-baik saja. Tapi, sayangnya hari esok masih
memungkinkan untuk menjadi hari yang buruk.
Selasa,
10 Juni 2014.
Kumulai
selasa pagi ini dengan tersenyum dan berharap akan indah seterusnya. Aku, Afi
dan Dena berjalan didepan Sahrul. Afi yang iseng dan sengaja menguji ekspresi
Dena langsung sengaja meledekku.
“Ciye
Zahro... Sahrul tuh...” Aku tersenyum, begitupun Sahrul. Tapi, berbeda dengan
Dena, dia langsung merubah muka cerianya 180o dan mengatakan,
“Ohh,,
jadi kamu sama dia? Seleramu rendahan banget sih...” dan iapun berlalu.
Aku
terkejut saat itu juga. Apa maksudnya?
Penasaran?
Jelas!!! Sakit hati??? Ahh,, mungkin! Aku harus tahu dan mnyelesaikannya.
Sepulang
sekolah Dena dan aku bertemu. Aku begitu kaget ketika mendengar penjelasannyya.
Ternyata, selama ini Sahrul benar-benar selingkuh. Dan Dena merupakan salah
satu selingkuhannya. Awalna aku tak percaya, tapi setelah dia meyakinkan dan
mengatakan,
“Percaya
sama aku, Zah... Kalo kamu ga percaya, tanya aja sama Sahrul. Kalo dia ga mau,
paksa dia!”
Ok,
aku percaya. Aku menguatkan diriku untuk tidak menangis. Kuucapkan terima kasih
dan kami saling berlalu menuju rumah masing-masing.
Rabu,
11 Juni 2014.
Setelah
kupikirkan matang-matang, aku tak bisa dengannya lagi. Ternyata, kakakku benar.
Aku harus memutuskannya. Aku tak bisa berjuang sendiri untuk menjalin kisah
yang dilibatkan oleh dua orang yang berbeda ini. Sehabis mengerjakan seluruh
tes akhir ini, aku menemuinya dan mengutarakan maksudku.
Kesetiaanku
terbalas dengan perselingkuhan. Inikah yang kamu sebut cinta? Tak ada celah
untukmu berbicara. Aku hanya ingin putus. Sudah, itu saja. Hari ini, aku
benar-benar memutuskannya.
***
Akhirnya,
aku bisa selesai menceritakannya. Semua tentang aku dan dia. Ya,, semoga ini
menjadi kenangan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar