Jika
ditanya antara hati dan pikiran, jelas lebih dahulu kuutamakan hati. Lalu,
mengapa aku yang sudah terbiasa berprinsip seperti itu dengan bodohnya
menyatakan kebimbanganku, bahkan aku harus bertanya kepadanya tentang ini. Dan ia
sependapat denganku (meskipun tak kujelaskan bagaimana pendapatku).
Aku diam
diantar 2 pilihan. Disisi hati dan disisi pikiran. Masing-masing terwakilkan
oleh satu orang. Jika dia mengatakan, utamakan hati baru pikiran. Maka,
haruskah aku memilih dia dahulu, lalu memilih dirinya? 2 orang yang berbeda,
yang mustahil disatukan untuk membentuk one
creature anymore.
Dia yang mewakili hatiku, dia hadir
disaataku terpuruk karena cinta. Disaat aku rapuh. Aku yakin, wanita manapun
akan merasakan senang atas kehadirannya yang selalu ada. Aku tak akan menjadi
orang munafik, setidaknya untuk hatiku sendiri, bahwa “Aku bahagia”. Tapi, saat
itu aku belum menyukainya. Itu kata hatiku.
Entah apa
yang kamu bawa untukku seterusnya. Vagetoz boleh berkata “...... dan hadirmu
membawa cinta sembuhkan lukaku”. Tapi, aku bukanlah Vagetoz yang seberuntung
itu, aku tak tahu apa yang dibawamu untuk menyembuhkan lukaku. Luka? Ya, luka
karena perasaan.
22 Desember
2013, kali pertama hadirmu dalam hidupku. Itu menurutku. Aku tak peduli
kapankah kali pertama aku ada dan terakui dalam hidupmu. Sebelum itu,
sebenarnya
(mungkin) kita sudah ada kontak, tapi aku tak ingin mengakuinya. Hanya pada tanggal itulah awal mula kontak antara kita berlanjut. Tak usah ditanyakan apa saja isinya, biasa saja menurutku. Tapi, setidaknya kamu telah bisa menempati satu ruang kosong. Ibarat puzzle, kamu membantu melengkapinya.
(mungkin) kita sudah ada kontak, tapi aku tak ingin mengakuinya. Hanya pada tanggal itulah awal mula kontak antara kita berlanjut. Tak usah ditanyakan apa saja isinya, biasa saja menurutku. Tapi, setidaknya kamu telah bisa menempati satu ruang kosong. Ibarat puzzle, kamu membantu melengkapinya.
Kamu hanya
membantu, bukan untuk melengkapinya secara sempurna. Kontak antara kita hanya
didalam dunia maya, sampai sempat aku berpikir dan mengatakan kamu pengecut. Karena,
sampai 5 bulan sejak hari itu kamu tak pernah menampakkan bagaimana dirimu
padaku. Tak adakah inisiatif lain untuk dapat menunjukkan rupamu? Ataukah kamu
senang melihatku yang terus penasaran denganmu?
Aku menjalaninya
dengan biasa, sewajarnya saja dan tanpa peduli, smapai akhirnya teman-temanku
menganggap ada hubungan khusus antara kita. Aku selalu mengatakan “I don’t care”,
tetapi terlalu lama dan semakin sering aku mendengarnya aku jadi mempertanyakan
sendiri. Mana mungkin aku bertanya padamu. Aku perempuan yang memang hakikatnya
menunggu. Selain itu, aku tak ingin dipandang rendah olehmu.
Bulan keenam,
full of miracle bagiku. Aku mengetahuimu. Ya, aku tahu itu kamu dengan segala
apa adanya dirimu. Lantas, aku tinggalkan? Tidak, aku tak memandang hal itu. Toh,
sampai sekarangpun aku masih sulit tuk mengenalmu. Lain aku lain dengan
lingkunganku. Mereka (bukan teman dekatku) sibuk memperbincangkan kamu. “Mengapa
aku mau?” dll. Padahal, apa salahnya aku berteman denganmu. Aku tak
mempermasalahkannya. Itu hanya mulut dengan omongannya. Aku menghargai pendapat
mereka tentang kamu.
Bicara mengenai
perasaan. Lama-lama kamu mampu menelusup masuk untuk bermukin di salah satu
bilik kosong dalam hatiku. Salahkah aku? aku tak memintamu masuk. Aku tak
memaksa. Tapi, apa salahnya jika memang itu terjadi? Itu semua diluar
kemauanku. Aku tak isa menyalahkan keadaan. Aku tak bisa menyalahkan hati. Bagaimanapun
juga, ia merupakan satu-satunya hal yang kupunya yang tak bisa kubagi. Ini tentangku.
Tentang perasaanku. Lalu kamu???
Aku tak
bisa menjudge bagaimana perasaanmu terhadapku, tapi aku hanya bisa mengatakan “jujurlah!!!”.
Jangan katakana tidak ada apa-apa dalam hatimu ! Aku bisa percaya diri
mengatakan ini, entah dari mana asalnya, yang jelas aku masih punya feeling. Mungkin
dari sanalah semua berasal.
Aku tahu,
menunggu terlalu lama beresiko sia-sia. Lalu, haruskah aku meninggalkanmu jika
kata-kata itu memang benar? Untuk saat ini aku belum sanggup. Entah kapan,
akupun tak tahu. Yang jelas kamu masih duduk manis diserambi hatiku. Padahal,
ada dia. Dia yang sangat setia menungguku sejak lama. Seharusnya, aku bisa
memilih dia dan cintanya. Tapi, apalah guna perasaan jika harus dibohongi. Memilih
dia karena aku berpikir aku bisa mendapatkan yang lebih baik darimu karena dia
dulu pernah menjadi orang yang special bagiku. Tapi itu dulu. Kini, perasaan
itu telah hilang dan dia masih sama dengan perasaanya.
Hati memang
sulit untuk tetap pada satu pilihan. Tapi, kini jika memang hati itu
benar-benar harus didahulukan, taka da alasan lain untuk tidak memilih kamu. Yang
lebih tak seterusnya membawa kebahagiaan. Aku bahagia bersamamu, walau
seringkali cemburu. Perasaan yang bagiku boleh saja kumiliki. Ini hak setiap
orang, meski tanpa hubungan apapun.
Aku hanya
diam dengan keputusan ini. Aku diam dan merahasiakannya. Sampai akhirnya sala
seorang temanku berkata, “Dia orang baru dan belum jelas. Kamu mungkin serin
sakit hati jika kamu memilih dia”. Aku bukanlah orang yang tidak berpikir. Aku mempertimbangkannya,
bahkan aku sempt ingin menghapus kamu dari dalam hatiku dengan tidak
menghadirkanmu dalam dunia (maya) ku. Tapi sayangnya aku tak bisa. Aku tak bisa
bahagia dengannya, bahkan meskipun dia yang menempati ruang pertimbanganku, dia
tak pernah hadir dalam pikiranku.
Aku sadar,
mungkin memang itu kamu. Meskipun, banyak beresiko sakit hati, tapi tak apalah.
Apa salahnya menuruti kata hati. Toh, sekarang aku tahu bahwa aku tak sendiri
menjalani hal yang seperti ini. Jika memang ada yang mengatakan sakit hati,
kupikir cerita kita (hampir) sama. Dan aku lihat kamu bahagia. Lantas, tak
bolehkah aku bahagia dengan cerita yang sama?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar