IT WILL RAIN
Lelah ini kembali mengusik bersamaan
dengan rasa penat yang selalu hadir. Kucoba sandarkan kepalaku pada dinding
kamar yang akhir-akkhir ini menjadi sangat pengap. Kusulut sebatang rokok yang
terasa asing bagiku. Yaaa..... semenjak beremu denganmu jarang kurasakan lagi
menghisapnya, dengan alasan kesehatan katamu waktu itu. Seketika aku menjadi
larut dalam bayangmu. Jam dinding yang berdetak bagaikan hantu yang memaksa
diriku untuk menengok bayangmu di masa lalu. Ya, masa lalu. Masa satu bulan
lalu sebelum akhirnya kau gantujngkan hubungan hubungan ini.
***
Hujan
deras saat itu membawakau untuk sampai di depan rumahmu. Sudah hampir satu
tahun berhubungan denganmu tak pernah kurasakan berada sedekat ini dengan rumah
yang kamu tinggali. Rumah yang hanya dihuni olehmu dan kedua orang tuamu. Rumah
yang berukuran sangat besar untukku, untuk ukuran seorang Ari.
“Ari,
masuk dulu yuk...” katamu lembut.
“Aku
disini aja sampai hujannya reda, Sora”. Kataku sambil kugosokkkan kedua telapak
tanganku untuk menciptakan kehangatan.
“Ya
udah, aku kedalam dulu bikin minuman hangat buat kamu”. Kata Sora yang terlihat
mulai menggigil.
Aku
membalasnya dengan senyuman dan sedikit angggukan kecil yang kemudian
mengiringi kepergiannya. Aku menunggu sambil melakukan hal yang sama,
menggosokan telapak tangan berharap kehangatan akan hadir dan berpihak
kepadaku. Menunggu adalah hal yang membosankan. Kalimat seperti itu memang
benar, meski aku menunggu kekasihku tetap saja waktu 25 menit yang sudah
berjalan terasa lama bagiku. Entah apa yang dilakukan Sora didalam.
Di
dalam masa penantianku itu ada sebuah mobil yang masuk kedalam halaman rumah
Sora. Honda vios silver yang langsung terpakir tak jauh dari tempatku duduk.
Seseorang didalamnya keluar. Laki-laki dewasa yang kuduga sementara adalah Ayah
Sora. Seseorang lagi keluar. Kini seorang wanita cantik yang wajahnya tak jauh
berbeda dengan Sora. Tak salah lagi, itu pasti Ibunya.
Melihat
mereka, entah kenapa keringat dingin mengalir dalam tubuhku yang juga sedang
kedinginan. Aku takut, aku gerogi dan aku merasa tak pantas dengan Sora bila
harus bertemu dengan orang tuanya.
“Ehm...
ss..sore Om, Tante”. Sapaku basa-basi sambil berdiri untuk sekedar memberikan
penghormatan pada mereka.
“Sore.
Temannya Sora?.” Kata laki-laki itu dingin.
“Iya,
om..”. kataku mencoba untuuk tetap bersikap hangat sambil tersenyum yang
terkesan dipaksakan. Bagaimana bisa aku bilang temannya, sedangkan aku dan Sora
telah resmi menjadi sepasang kekasih
sejak 11 bulan yang lalu.
“Ayah,
itu pacar Sora.” kata Sora lembut sambil membawa dua buah cangkir coklat panas.
“Oh,
kalau begitu suruh dia masuk. Ayah ingin bicara dengannya.” Katanya masih tetap
tanpa senyum. Sora terlihat merasa bersalah telah mengatakan hal itu, walaupun
itulah kenyataanya. Ia merasa takut akan kemungkinan buruk yang akan dihadapi
di beberapa menit kedepan setelah obrolan itu. Begitupun aku, tapi wanita yang
mempunyai kesamaan wajah dengan Sora tampak tersenyum hangat dan meyakinkan
semuanya akan baik-baik saja.
“Masuklah,
nak Ari!” kata wanita itu lembut padaku. Aku merasakan sosok ibu kembali hadir
dalam hidupku.
Aku
mulai melangkahkan kakiku masuk setalah Sora mengisyaratkan agar aku menuruti
permintaan Ayahnya. Sora juga tersenyum yang mengisyaratkan semua akan baik-baik
saja. Sora membawaku ke ruang tamu dan menemaniku menikmati secangkir coklat
panas buatan Sora. Kami saling tertawa ringan ketika sama-sama larut dalam
obrolan kecil ini. Tiba-tiba Sora menatapku seperti bermakna menenangkanku. Ini
akan baik nantinya, tapi tetap saja aku tak bisa tenang dalam keadaan seperti
ini. Aku juga tahu kalau iapun tak bisa lagi dikatakan dalam kondisi tenang.
Ayah
Sora datang dengan baju santainya beserta Ibunya yang setia mengiringi Ayahnya.
Ibunya benar-benar seperti Sora. Kelembutan dan tingkah lakunya sangat mirip.
Sedangkan Ayahnya mungkin hanya mewarisi Sora hidung yang mancung dan kulit
putih bersihnya. Ayah Sora memang bukan berasal dari Indonesia, ia berasal dari
Jepang.
Obrolan
antara aku dan ayahnya berjalan seperti dugaanku. Dingin. Mungkin, ini akan
terus berlanjut sampai obrolan selesai. Aku hanya bisa terima. Semoga dewi
fortuna berada disisiku kini.
“Lalu,
bagaimana dengan sekolah dan keluargamu?”
Aku
diam. Aku tercekat dengan pertanyaan itu.
“Orang
tuaku telah meninggal. Aku anak tunggal dan sekarang aku tinggal bersama
sepupuku di dekat sekolah. Untuk sekolah, aku mendapatkan beasiswa.” Kataku
mencoba untuk tetap tenang.
“Berani
sekali kau dengan putriku! Keluarga tidak jelas! Sekolah hasil beasiswa!
Seperti gelandangan saja!! Pergi dan jangan dekati Sora lagi!!!” nada suaranya
meninggi dan aku tau beliau sedang marah.
Tanpa
diperintahpun aku sadar aku harus keluar. Memang benar apa yang dikatakan
ayahnya. Aku memang seperti gelandangan. Tak pantas bersanding denganmu yang
berasal dari keluarga berada. Kita memang sama-sama anak tunggal, tapi nasib
kita berbeda. Aku mencoba tersenyum atas hal ini. Aku pamit kepada Sora dan
Ibunya hanya dengan isyarat. Ku lihat Sora menangis, tapi aku sama sekali tak
dapat berbuat apapun saat ini.
Sora, aku tahu aku takkan pernah
menjadi apa yang orang tuamu suka.
Ayahmu bahkan tidak ingin melihatku
lagi.
Jika aku di posisi mereka.
Mungkin, aku akan lakukan yang sama.
***
Kini,
aku memutuskan untu menitipkan sepucuk surat kepada jasa pos untuk
mengantarkannya pada Sora. Di zaman seperti ini, memang pos sudah dikatakan
sangat kuno. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tak bisa berkomunikasi elektronik
dengannya. Ponsel Sora diambil ayahnya dan aku tak bisa lagi menghubunginya, meskipun
aku yakin Sora sekarang sudah mempunyai ponsel dengan nomor barunya. Tapi,
kenyataannya sampai sekarangpun Sora belum pernah mengabariku kembali. Lalu,
hanya dengan sepucuk surat ini aku katakan mewakili perasaaanku.
Teruntuk
Sora,
Hadirku
mungkin hanya sekedar garis tipis yang akan dengan sangat mudah dihapuskan. Tak
nampak nyata tapi terlihat. Mungkin, aku sedikit berarto, tapi aku tak punya
daya untuk menunjukkan apa artiku padamu. Karena, kini aku lemah. Aku lemah
dihadapan takdir yang digariskan Tuhan untuk dibawa orang tuamu.
Sora,
jangan katakan “selamat tinggal”, karena aku akan membawa serpihan perasaan ini
kepada orang tuamu yang tak cukup mengerti. Dalam haluan keindahan ini, aku
akan tetap berusaha untuk mengubah segalanya. Aku takkan terus menerus
tenggelam dalam kecewa yang berbalt sepi.
Ari,,
Aku
yakin surat yang kulayangkan kini telah sampai di tangan Sora. Tidak perlu
menunggu lama, karena jaraknya memang cukup dekat. Aku berharap Sora
membalasnya. Tapi, sampai seminggu ini tak ada balasan darinya. Firasatku mulai
memunculkan hal-hal yang tidak mengenakkan. Namun, akal sehat dan hati kecilku
menepis itu semua dengan segera. Bukankah aku masih resmi menjadi kekasihnya?
***
Cahaya matahari jarang sekali mengenai
bumi di musim penghujan ini. Sudah setiap hari hujan selalu saja ada yang jatuh
ke bumi. Angin yang lewat terasa begitu dingin menusuk. Entah mengapa, semakin
dingin angin yang menusuk, semakin jelas kerinduanku. Seakan semua itu menembus
hatiku yang seharusnya tertutupi oleh kehadiranmu. Namun, rindu inii terus
mengembara mencari peenawarnya. Hingga kini, kuputuskan untuk berjalan melewati
depan rumahmu. Mungkin, dengan begitu rasa ini sedikit terobati dan akhirnya
membuat aku sadar. Jika tindakanmu tidak membalas suratku, mungkin saja kamu
telah berhasil melupakanku atau bahkan kamu telah bersama yang lain.
Tinggal beberapa langkah lagi, aku
akan sampai di depan rumahmu ketika dengan tiba-tiba honda jazz merah
melewatiku dengan sangat angkuh. Kulihat mobil itu memasuki rumah Sora. Tidak
ingin melewatkannya, aku mempercepat langkahku untuk melihatnya. Kupersiapkan
hati, mental dan diriku untuk dapat bertahan menyaksikan kemungkinan terburuk
sekalipun.
Ketika sampai dirumahnya, seakan-akan
semua pertahananku hilang. Laki-laki macam apa aku ini? Bagaimana aku bisa
bertahan jika aku lihat pemilik mobil itu bersama Sora sedang duduk berdua di
teras rumahnya. Mereka terlihat akrab dan mesra layaknya sepasang kekasih. Hal
yang sama yang dilakukan Sora ketika masih bersamaku. Semuanya membuat aku
cemburu. Aku masih berhak cemburu, meskipun mungkin kini ia bukan siapa-siapaku
lagi. Ku percepat langkahku untuk pulang dan mencoba mencari ketenangan.
Mungkin ini lebih baik daripada berdiri mematung menatap mereka dengan perasaan
yang tak tentu.
Kini
tidak ada lagi rasa percaya diriku
yang bisa membuatmu tetap disisiku.
Mengapa engkau tidak berpikir semua
pengorbananku?
Kini tak kan ada lagi cahaya
mataharitak kan ada lagi langit cerah
Semua
hanya awan mendung
Dan
mataku akan melakukan hal yang sama
Jika
kau benar-benar pergi dariku....
Setiap
hari akan selalu ada hujan.
It
will rain.........
Inspired
by_Bruno Mars(It Will Rain)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar