Senin, 04 Agustus 2014

It Will Rain

IT WILL RAIN

          Lelah ini kembali mengusik bersamaan dengan rasa penat yang selalu hadir. Kucoba sandarkan kepalaku pada dinding kamar yang akhir-akkhir ini menjadi sangat pengap. Kusulut sebatang rokok yang terasa asing bagiku. Yaaa..... semenjak beremu denganmu jarang kurasakan lagi menghisapnya, dengan alasan kesehatan katamu waktu itu. Seketika aku menjadi larut dalam bayangmu. Jam dinding yang berdetak bagaikan hantu yang memaksa diriku untuk menengok bayangmu di masa lalu. Ya, masa lalu. Masa satu bulan lalu sebelum akhirnya kau gantujngkan hubungan hubungan ini.
***
Hujan deras saat itu membawakau untuk sampai di depan rumahmu. Sudah hampir satu tahun berhubungan denganmu tak pernah kurasakan berada sedekat ini dengan rumah yang kamu tinggali. Rumah yang hanya dihuni olehmu dan kedua orang tuamu. Rumah yang berukuran sangat besar untukku, untuk ukuran seorang Ari.
“Ari, masuk dulu yuk...” katamu lembut.
“Aku disini aja sampai hujannya reda, Sora”. Kataku sambil kugosokkkan kedua telapak tanganku untuk menciptakan kehangatan.
“Ya udah, aku kedalam dulu bikin minuman hangat buat kamu”. Kata Sora yang terlihat mulai menggigil.
Aku membalasnya dengan senyuman dan sedikit angggukan kecil yang kemudian mengiringi kepergiannya. Aku menunggu sambil melakukan hal yang sama, menggosokan telapak tangan berharap kehangatan akan hadir dan berpihak kepadaku. Menunggu adalah hal yang membosankan. Kalimat seperti itu memang benar, meski aku menunggu kekasihku tetap saja waktu 25 menit yang sudah berjalan terasa lama bagiku. Entah apa yang dilakukan Sora didalam.
Di dalam masa penantianku itu ada sebuah mobil yang masuk kedalam halaman rumah Sora. Honda vios silver yang langsung terpakir tak jauh dari tempatku duduk. Seseorang didalamnya keluar. Laki-laki dewasa yang kuduga sementara adalah Ayah Sora. Seseorang lagi keluar. Kini seorang wanita cantik yang wajahnya tak jauh berbeda dengan Sora. Tak salah lagi, itu pasti Ibunya.
Melihat mereka, entah kenapa keringat dingin mengalir dalam tubuhku yang juga sedang kedinginan. Aku takut, aku gerogi dan aku merasa tak pantas dengan Sora bila harus bertemu dengan orang tuanya.
“Ehm... ss..sore Om, Tante”. Sapaku basa-basi sambil berdiri untuk sekedar memberikan penghormatan pada mereka.
“Sore. Temannya Sora?.” Kata laki-laki itu dingin.
“Iya, om..”. kataku mencoba untuuk tetap bersikap hangat sambil tersenyum yang terkesan dipaksakan. Bagaimana bisa aku bilang temannya, sedangkan aku dan Sora telah resmi menjadi  sepasang kekasih sejak 11 bulan yang lalu.
“Ayah, itu pacar Sora.” kata Sora lembut sambil membawa dua buah cangkir coklat panas.
“Oh, kalau begitu suruh dia masuk. Ayah ingin bicara dengannya.” Katanya masih tetap tanpa senyum. Sora terlihat merasa bersalah telah mengatakan hal itu, walaupun itulah kenyataanya. Ia merasa takut akan kemungkinan buruk yang akan dihadapi di beberapa menit kedepan setelah obrolan itu. Begitupun aku, tapi wanita yang mempunyai kesamaan wajah dengan Sora tampak tersenyum hangat dan meyakinkan semuanya akan baik-baik saja.
“Masuklah, nak Ari!” kata wanita itu lembut padaku. Aku merasakan sosok ibu kembali hadir dalam hidupku.
Aku mulai melangkahkan kakiku masuk setalah Sora mengisyaratkan agar aku menuruti permintaan Ayahnya. Sora juga tersenyum yang mengisyaratkan semua akan baik-baik saja. Sora membawaku ke ruang tamu dan menemaniku menikmati secangkir coklat panas buatan Sora. Kami saling tertawa ringan ketika sama-sama larut dalam obrolan kecil ini. Tiba-tiba Sora menatapku seperti bermakna menenangkanku. Ini akan baik nantinya, tapi tetap saja aku tak bisa tenang dalam keadaan seperti ini. Aku juga tahu kalau iapun tak bisa lagi dikatakan dalam kondisi tenang.
Ayah Sora datang dengan baju santainya beserta Ibunya yang setia mengiringi Ayahnya. Ibunya benar-benar seperti Sora. Kelembutan dan tingkah lakunya sangat mirip. Sedangkan Ayahnya mungkin hanya mewarisi Sora hidung yang mancung dan kulit putih bersihnya. Ayah Sora memang bukan berasal dari Indonesia, ia berasal dari Jepang.
Obrolan antara aku dan ayahnya berjalan seperti dugaanku. Dingin. Mungkin, ini akan terus berlanjut sampai obrolan selesai. Aku hanya bisa terima. Semoga dewi fortuna berada disisiku kini.
“Lalu, bagaimana dengan sekolah dan keluargamu?”
Aku diam. Aku tercekat dengan pertanyaan itu.
“Orang tuaku telah meninggal. Aku anak tunggal dan sekarang aku tinggal bersama sepupuku di dekat sekolah. Untuk sekolah, aku mendapatkan beasiswa.” Kataku mencoba untuk tetap tenang.
“Berani sekali kau dengan putriku! Keluarga tidak jelas! Sekolah hasil beasiswa! Seperti gelandangan saja!! Pergi dan jangan dekati Sora lagi!!!” nada suaranya meninggi dan aku tau beliau sedang marah.
Tanpa diperintahpun aku sadar aku harus keluar. Memang benar apa yang dikatakan ayahnya. Aku memang seperti gelandangan. Tak pantas bersanding denganmu yang berasal dari keluarga berada. Kita memang sama-sama anak tunggal, tapi nasib kita berbeda. Aku mencoba tersenyum atas hal ini. Aku pamit kepada Sora dan Ibunya hanya dengan isyarat. Ku lihat Sora menangis, tapi aku sama sekali tak dapat berbuat apapun saat ini.
Sora, aku tahu aku takkan pernah menjadi apa yang orang tuamu suka.
Ayahmu bahkan tidak ingin melihatku lagi.
Jika aku di posisi mereka.
Mungkin, aku akan lakukan yang sama.
***
Kini, aku memutuskan untu menitipkan sepucuk surat kepada jasa pos untuk mengantarkannya pada Sora. Di zaman seperti ini, memang pos sudah dikatakan sangat kuno. Tapi, mau bagaimana lagi. Aku tak bisa berkomunikasi elektronik dengannya. Ponsel Sora diambil ayahnya dan aku tak bisa lagi menghubunginya, meskipun aku yakin Sora sekarang sudah mempunyai ponsel dengan nomor barunya. Tapi, kenyataannya sampai sekarangpun Sora belum pernah mengabariku kembali. Lalu, hanya dengan sepucuk surat ini aku katakan mewakili perasaaanku.
Teruntuk Sora,
Hadirku mungkin hanya sekedar garis tipis yang akan dengan sangat mudah dihapuskan. Tak nampak nyata tapi terlihat. Mungkin, aku sedikit berarto, tapi aku tak punya daya untuk menunjukkan apa artiku padamu. Karena, kini aku lemah. Aku lemah dihadapan takdir yang digariskan Tuhan untuk dibawa orang tuamu.
Sora, jangan katakan “selamat tinggal”, karena aku akan membawa serpihan perasaan ini kepada orang tuamu yang tak cukup mengerti. Dalam haluan keindahan ini, aku akan tetap berusaha untuk mengubah segalanya. Aku takkan terus menerus tenggelam dalam kecewa yang berbalt sepi.
                                                                                                            Ari,,
Aku yakin surat yang kulayangkan kini telah sampai di tangan Sora. Tidak perlu menunggu lama, karena jaraknya memang cukup dekat. Aku berharap Sora membalasnya. Tapi, sampai seminggu ini tak ada balasan darinya. Firasatku mulai memunculkan hal-hal yang tidak mengenakkan. Namun, akal sehat dan hati kecilku menepis itu semua dengan segera. Bukankah aku masih resmi menjadi kekasihnya?
***
          Cahaya matahari jarang sekali mengenai bumi di musim penghujan ini. Sudah setiap hari hujan selalu saja ada yang jatuh ke bumi. Angin yang lewat terasa begitu dingin menusuk. Entah mengapa, semakin dingin angin yang menusuk, semakin jelas kerinduanku. Seakan semua itu menembus hatiku yang seharusnya tertutupi oleh kehadiranmu. Namun, rindu inii terus mengembara mencari peenawarnya. Hingga kini, kuputuskan untuk berjalan melewati depan rumahmu. Mungkin, dengan begitu rasa ini sedikit terobati dan akhirnya membuat aku sadar. Jika tindakanmu tidak membalas suratku, mungkin saja kamu telah berhasil melupakanku atau bahkan kamu telah bersama yang lain.
          Tinggal beberapa langkah lagi, aku akan sampai di depan rumahmu ketika dengan tiba-tiba honda jazz merah melewatiku dengan sangat angkuh. Kulihat mobil itu memasuki rumah Sora. Tidak ingin melewatkannya, aku mempercepat langkahku untuk melihatnya. Kupersiapkan hati, mental dan diriku untuk dapat bertahan menyaksikan kemungkinan terburuk sekalipun.

          Ketika sampai dirumahnya, seakan-akan semua pertahananku hilang. Laki-laki macam apa aku ini? Bagaimana aku bisa bertahan jika aku lihat pemilik mobil itu bersama Sora sedang duduk berdua di teras rumahnya. Mereka terlihat akrab dan mesra layaknya sepasang kekasih. Hal yang sama yang dilakukan Sora ketika masih bersamaku. Semuanya membuat aku cemburu. Aku masih berhak cemburu, meskipun mungkin kini ia bukan siapa-siapaku lagi. Ku percepat langkahku untuk pulang dan mencoba mencari ketenangan. Mungkin ini lebih baik daripada berdiri mematung menatap mereka dengan perasaan yang tak tentu.
          Kini tidak ada lagi rasa percaya diriku
            yang bisa membuatmu tetap disisiku.
            Mengapa engkau tidak berpikir semua pengorbananku?
            Kini tak kan ada lagi cahaya mataharitak kan ada lagi langit cerah
Semua hanya awan mendung
Dan mataku akan melakukan hal yang sama
Jika kau benar-benar pergi dariku....
Setiap hari akan selalu ada hujan.
It will rain.........


Inspired by_Bruno Mars(It Will Rain)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar